M i s
s b a k h
K h a
s h a
n y
“Nggak usah ngayal deh lu Gus !” tegas
Andre temanku, saat mencari rongsokan.
Namaku
Agus. Seharusnya aku sudah SMA, mungkin kelas dua-an. Tapi sekarang aku tidak
bersekolah. Aku hanya 4 tahun makan bangku pendidikan. Dikarenakan orang tuaku
sudah tidak sanggup lagi membiayaiku untuk bersekolah
Kehidupanku
di atas gerobak kayu butut, roda dua, yang lama-kelamaan di makan rayap
membuatku menjadi sedikit lebih dewasa untuk menghadapi kehidupan ini. Benar, rumahku
adalah sebuah gerobak. Aku tinggal bersama Ibu dan dua adikku. Kedua adikku
juga putus sekolah.
Kadangkala
Aku dan keluargaku tidur di bawah jembatan, di emperan toko, di dalam pasar,
pernah juga di pos ronda yang sudah ditinggalkan. Aku ingin merubah nasibku dan nasib ibu serta
adik-adikku. Tapi bagaimana ? benar-benar Jakarta kejam terhadap kita.
Setiap
hari Ibu memintaku untuk bersabar atas semua yang terjadi. Entah apa yang
difikirkannya. Aku sudah bosan dengan semua ini.
Aku
fikir untuk merubah nasib di kota sekejam ini sangatlah berat. Ya sangat berat
sekali. Bayangkan untuk makan sehari-hari saja kita semua harus berpencar untuk
memperoleh sampah yang natinya akan dikilokan. Itupun kalau dapat, tak jarang
aku dan keluargaku harus merelakan cacing-cacing konser di dalam perut kita.
Untuk
itu saja aku sudah tak mampu, apalagi untuk merubah nasib ? Ah, jangan mimpi
deh.
* * *
Pagi ini, seperti biasanya. Aku
dengan Rama, adik pertamaku bersiap-siap mengais sampah di depan kantor perpajakan
dan ibu bersama Mila, si bungsu di bantaran kali ciliwung sambil sesekali
memancing ikan gabus untuk makan malam kita.
Sebelum berangkat, Aku dan Rama
bersalaman dan menciumi ibu. Entah kenapa tidak biasanya aku ikut-ikutan
bersalaman, tapi kali ini aku melakukannya. Seperti ada magnet yang menarikku
untuk melakukannya.
“Assalamualaikum.” Kata si Rama
berpamitan.
“Waalaikum
salam.” Ibu menjawabnya.
Dengan
segera aku mengambil karung dan peralatan yang lain. Kudengar Rama teriak-teriak
berebutan peralatan dengan Mila. Maklumlah usia mereka tidak terpaut jauh.
Mungkin hanya 2 tahunan.
“Aduh,
burung-burungku berkicau lagi . . lumayanlah buat nyegerin pikiran.” Ucapku
menyindir mereka.
*
* *
Di depan kantor perpajakan, Aku mengambili
dan memilah barang-barang rongsokan yang bisa dibawa. Aku tak tau Rama mencari
rongsokan di mana.
“Nanti juga pulang-pulang sendiri.”
Pikirku.
Ku nikmati setiap hembusan angin
yang melewati tubuhku. Sampai membawa diriku ke dalam sebuah lamunan hebat.
“Duhai,
betapa indahnya surga, tetapi betapa tak cukup ilmu yang kupunya untuk
mengantarku ke sana ! Aku hanyalah pencari rongsokan dengan telapak tangan yang
keras dan melepuh, bermandikan keringat di siang hari, dan kelelahan di malam
hari. Sudah sekian lama aku kehilangan semuanya. Hingga siang dan malamku
terasa hambar dan hampa. Duh, seandainya tawaran Pak Jazuli untuk aku agar
melanjutkan sekolah gratis aku turuti. Pasti sekarang aku sudah bisa melawan
keganasan kota ini.”
“Tapi
apadaya, Aku hanyalah ranting kering dari kayu yang sudah lapuk, menunggu
hembusan angin, lalu patah dan jatuh di atas batu dan hancur berkeping-keping.
Mungkin pula aku hanyalah seumpama elang, membumbung tinggi terbang, lalu petir
menghancurkan sayap-sayapku. Hidupku laksana berhenti di masa lalu, tanpa arah
dan tujuan, sedang jiwaku semakin melemah di hari ini, dan tak sanggup aku
membayangkan masih adakah kesempatan kepada diriku untuk membahagiakan
keluargaku.”
Tiba-tiba
seseorang menepuk pundakku dari belakang. Menyadarkanku dari lamunan singkat
ini.
“Hei,
pemuda.” Ucap seseorang yang mengagetkanku itu. Dia bertubuh besar, tegap,
gagah, berkulit sawo matang, dan tidak tampak seperti preman.
“Eh, iya Pak .. ” aku mendadak menjadi
malu.
“Rumahmu di mana ?” Tanyanya.
“Di gerobak Pak, pindah-pindah.”
Jawabku jujur.
“Di gerobak pindah-pindah gimana ?”
Dengan sangat penasaran bapak itu menanyakan.
Aku menceritakan semuanya.
* * *
Awan menangis di siang gelap ini. Perbincanganku
dengan lelaki itu berlanjut di sebuah warung kopi di daerah Simpang Lima.
Sepertinya, aku semakin akrab dengan beliau. Beliau pun semakin tahu keadaanku,
kehidupan miskinku, dan cita-citaku.
Hingga
sebuah tawaran mengejutkan terlontar dari mulutnya.
Sebuah
tawaran yang tentu akan diminati banyak orang. Yaitu sebuah pekerjaan yang di
sana aku hanya duduk sebagai narasumber, tepatnya di sebuah workshop atau
pelatihan. Banyak orang yang menginginkan pekerjaan seperti itu, tetapi sangat
sulit untuk melaksanakannya. Aku tahu hal itu. Beliau memberiku alamat rumahnya
untuk memastikan kesungguhanku.
Dan
aku menyetujuinya.
* * *
Seketika
itu pula, tangisan awan semakin menjadi-jadi. Aku teringat dengan ibu dan
adik-adikku. Aku ingin berbagi kebahagiaan dengan mereka. Aku tak peduli. Aku
tetap menerjang.
Pertama
kali, aku bertemu dengan Rama yang tak berada jauh dengan tempatku. Aku lihat
Rama menggigil kedinginan. Tapi itu sudah biasa.
“Dek,
kakak dapet kerjaan.” Ucapku bahagia
“Beneran
Kak ?” Wajah Rama bersemangat.
“Iya,
asli .. Kakak ditawari kerjaan sama bapak-bapak yang di warung tadi, kamu lihat
kan ?”
“Iya
iya .. Kak, bukan sebaiknya kita beri tahu ibu dan Mila dahulu ?”
“Seperti
yang aku fikirkan, Let’s go !”
Sepertinya
aku dan Rama sudah tidak dapat membendung kegembiraan lagi.
* * *
Apa yang terjadi ?
Aku dan Rama tidak menemukan Ibu dan
si bugsu, Mila. Aku dan Rama mencari mereka di tempat-tempat yang biasa kami
tempati istirahat. Di kolong jembatan, di emperan toko emas, di pos ronda. Tapi
apadaya aku dan Rama tetap tidak menemukan mereka.
Awalnya
kami biasa-biasa saja. Sudah biasa ibu dan Mila menghilang seperti itu. Namun,
lama-kelamaan kita cari tetap tidak ada hasil. Sampai akhirnya kita teringat
kalu ibu dan Mila ada di sungai Ciliwung utuk mengambil sampah dan memancing
ikan. Tetapi apa yang kita dapatkan, hanya tempat itu sudah dipenuhi dengan air
bah cokelat pekat. Mungkin karena hujan deras siang tadi.
Aku
dan Rama terus mencari Ibu dan Mila di sekitar sungai. Tetapi apa, kita dapati
gerobak usang kita yang tengkurap tertimpa pohon di sekitar Ciliwung. Kejadian
itu membuat kita sangat panik. Tetapi aku mencoba menyembunyikan kepanikan itu
dari adikku, Rama.
“Kak ..” Desah Rama, dengan mata
yang berkaca-kaca.
“Iya, sabar dulu ya. kita cari
sama-sama.” Jawabku seolah-olah mengerti apa yang difikirkan Rama.
“Bagaimana kalau tidak ketemu Kak ?”
“Hus, jangan berfikiran yang
tidak-tidak dulu.”
Sepertinya Rama sudah tidak dapat
membendung air bah yang ada di matanya sendiri.
* * *
Sementara aku meminta bantuan
bapak-bapak yang berada di sekitar lokasi sungai Ciliwung untuk menemukan Ibuku
dan adik bungsuku. Dengan menggunakan gerobak kita yang ditemukan terlebih
dahulu. Aku dan wargapun memulai pencarian.
“Ibu ..” Teriakku.
“Ibu ..” Diikuti bapak-bapak yang
lain.
“Mila ..”
“Mila ..”
Sampai pada malam hari. Aku, Rama,
dan warga sekitar mencari ibu dan Mila. Tetapi tetap tak ada hasil. Aku semakin
takut dengan keadaan ini.
Aku tidak sanggup kalau seandainya
ibu meninggalkanku. Setelah ayahku, tongkat jiwaku, yang telah lama dipanggil-Nya.
Hampir satu tahun ayah tegolek di atas pembaringan. Tubuhnya kurus, mengurus,
wajahnya pucat pasi. Sudah berkali-kali ayah di bawa ke mantri, tetapi sakitnya
tak kunjung sembuh. Semuanya sudah terjual demi mengobati ayah. Berbagai jenis
obat-tradisional maupun herbal-telah kami cari demi kesembuhan ayah. Kami orang
miskin, tetapi Allah tetap menguji kehidupan kami.
Aku benar-benar tidak sanggup kalau
seandainya ibu meninggalkanku juga. Aku harus merawat kedua adikku sendirian,
dengan segala keterbatasanku ini. Itu tidak mungkin. Belum juga aku mengabarkan
kegembiraan yang baru aku dapat hari ini, sudah-sudah ibu telah meninggalkanku.
Semoga tidak terjadi.
* * *
Setelah berhari-hari. Adikku, Rama aku titipkan di
tenda darurat. Dan berhari-hari pula aku mecari ibu dan Mila dengan dibantu
oleh semua warga. Sampai air bah itu sedikit demi sedikit menjadi menyurut.
Tapi tetap tidak membuahkan hasil.
* * *
“Mas
.. mas .. “ Teriak salah seorang warga kepadaku.
“Kenapa
Pak, cepat katakan kalau bapak menemukan ibu dan adekku pak ..” Paksaku.
“Iya
Mas, iya. Ibu sampean ada di tenda .. Ayo mas aku antarkan ke sana .. ”
Jelasnya berlogat Jawa dengan agak tergesa-gesa.
“Kalau
adekku Pak ?” Tanyaku sekali lagi. Tetapi tak sempat menjawabnya, dengan segera
bapak itu menyeretku ke tenda.
* * *
Sorot
mataku langsung tertuju pada sebuah ranjang yang di atasnya terdapat seorang
manusia entah siapa, dengan sekujur tubuhnya tertutup oleh selembar kain putih
bersih.
Aku
buka kain yang menutupi wajahnya dengan perlahan, dan aku menelusuri setiap
bagian dan lekukan dari wajahnya untuk memastikan kalau itu bukan ibu atau
adikku. Dan ternyata takdir berkata lain. Itu adalah ibuku. Ibuku telah tiada,
dan Mila masih belum juga ditemukan.
“Dalam
menapaki perjalanan hidup, adakalanya kita seolah dipaksa berlari dan
dihadapkan pada permasalahan rumit yang tak mungkin dipecahkan. Hingga pada
terendah, kita benar-benar merasa tak ada harapan sedikitpun. Namun, sadarlah bahwa
saat-saat menyakitkan penuh penderitaan dan air mata tersebut adalah salah satu
cara Tuhan membetuk kita menjadi sosok yang kuat.” Seorang perempuan
membisikiku dari belakang.
Aku
tak memperhatikannya. Sekarang aku hanya bisa memeluk Rama satu-satunya
keluargaku yang masih tersisa dan menangis tersedu-sedu melihat ibuku, ibu
kandungku, yang sangat aku cintai telah menghembuskan nafas terakhirnya dan
terbujur kaku di pembaringan tenda darurat ini.
“Seperti
halnya cangkir. Di mana dahulu dia hanya berupa seonggok tanah liat yang tak
berguna. Setelah menjalani tempaan dan menahan sakit di sekujur tubuhnya,
akhirnya dia berhasil mengubah wujudnya menjadi sebuah cangkir yang indah.”
Perempuan itu melanjutkannya.
* * *
“Bu,
sekarang Kakak sudah mendapat pekerjaan yang insyaallah sangat baik. Kakak akan
menjadi menjadi orang yang bicara di acara wawancara. Kakak akan tampil di
JABODETABEK selama 9 bulan berturut-turut Bu.” Rama menjelaskan sesuatu yang
aku sebut kegembiraan yang tertunda itu, kepada mayat ibuku. Tampaknya Rama
sudah tidak ingin menangisi kepergian ibuku.
“Kak,
Rama percaya apa yang kakak kerjakan pasti ibu merestui kok. Ibu senang kalau
anak-anak ibu senang. Asalakan itu sejalan dengan agama. Gitu kan kata ibu dulu.
Sekarang, tugas kita adalah berusaha dan berdoa agar Mila cepat ditemukan dan kehidupan
kita menjadi baik.” Rama mengusap air mataku dan juga berusaha menghiburku.
* * *
Sebulan ini aku telah bekerja.
Dan
karena musibah air bah yang telah menenggelamkan semuanya, sampai sekarang,
adikku Mila belum juga ditemukan.
Tak
henti-hentinya aku dan Rama mengirimkan doa kepadanya agar dia masih diberi
kesempatan untuk hidup dan kita bisa bertemu dengannya kembali kelak. Dan tak
lupa juga aku dan Rama selalu mengirimkan doa kepada kedua orang tua kita,
belahan jiwa kita, agar mereka di akhirat diberi Allah SWT tempat yang
benar-benar baik.
* * *
Sungguh, betapa aku tenggelam dalam
rasa terima kasih yang luar biasa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sekarang aku
sudah bisa menyekolahkan Rama kembali. Dan kami juga sudah tidak nomaden lagi.
Aku menyewa sebuah kontrakan yang tidak cukup luas untuk kita berdua, aku dan
adikku, Rama.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar